"There’s no excitement about it. I just find him kind, serious dan ready to married. Makanya aku perlu tahu, resiko apa saja yang akan terjadi dan harus aku tanggung. Coz I know this is a very big deal. Why even a person like you can’t survive your marriage..."
Jika sepuluh orang gagal berumah tangga di interogasi sekalipun, tidak akan bisa menjawab pertanyaan, "berapa rasio kegagalan dalam rencana pernikahan saya". ROI (Return on Investment)-nya bukanlah 30 persen kenaikan penghasilan atau cut-off 20 persen pengeluaran pribadi... Terlalu mudah jika demikian.
Ketika dua orang manusia ingin melebur dalam satu lembaga perkawinan, seyogya-nya mereka berdua memiliki paham yang sama tentang konsep pernikahan dan eksistensi serta peran dari masing-masing fungsi: istri dan suami, ibu dan ayah.
Dengan memahami bahwa pernikahan adalah ajang untuk saling melengkapi, menutupi kekurangan masing-masing dan mengisi atas dasar landasan yang sama dan diimbangi dengan tujuan ibadah pelengkap dien, bisa jadi pernikahan malah jauh lebih sederhana.
Kalau sudah begitu, maka resiko bukanlah menjadi resiko pribadi atau perorangan. Resiko menjadi milik bersama. Hidup toh bukan hanya "aku dan kamu" saja, ada orang lain, ada lingkungan, ada faktor eksternal, ada masa lalu. Namun, kesolid-an hubungan kedua insan dalam internal pernikahan dengan masing-masing menyadari langkah tak selamanya mulus dan aral kadang melintang, berdua malah justru menjadikan semua itu ringan, seuntai goresan warna dan hanyalah bagian dari proses pembelajaran ke arah yang lebih baik.
Badai pasti berlalu, siang pasti berakhir dan roda pasti berputar. Hiduplah untuk hari ini, dan hiduplah untuk hari esok.Jalan menuju pernikahan yang paling baik justru adalah jauh dari tipuan perasaan yang bisa membutakan.
Perlukah excitement? Perlu, tapi excitement horizontal, excitement untuk menyempurnakan separuh dien. Bukan excitement duniawi. Jika menempuh jalan ini, insya Allah excitement duniawi dengan sendirinya akan timbul pasca pernikahan berupa hidayah dari Allah.
Kapan titik BEP pernikahan? BEP pernikahan bukanlah dalam hitungan (angpow) rupiah, atau rasio income dibagi expense = nol. BEP itu hanya bisa dirasakan di hati. Adalah ketika kehidupan pernikahan menjadi al-baiti jannati, "aku tak bisa hidup tanpa kamu", dan lebih bahagia dengan status menikah dari pada waktu status masih lajang. Kapankah itu...? Bisa 2 tahun, 1 tahun, 1 bulan, bahkan 1 minggu. Tergantung ikhtiar dan kedewasaan masing-masing individu.
Bagaimana bisa tahu apakah visi dan misi sudah tercapai? Jika visi dan misi sesuai dengan syariat, tercapai atau tidaknya merupakan proses panjang. Penikahan yang sakinah, mawaddah dan warahmah, akan abadi hingga di fase kehidupan berikutnya. Tapi paling tidak, perasaan aman dan tentram di dunia ini saja, serta anak-anak yang sholeh yang selau mendoakan, sudah bisa menjawab pertanyaan.
Kesimpulannya, setiap orang punya jalan hidup sendiri-sendiri. Pengalaman pernikahan dan perceraian seseorang merupakan pelajaran hidup yang bisa dipetik hikmahnya, tapi tidak bisa dijadikan patokan dan bench-mark untuk pernikahan orang lain. Apalagi menjadikan traumatis bagi yang berencana menikah. Tapi saya percaya, setiap jalan hidup syar’i yang ditempuh merupakan langkah ke arah ma’rifatullah. Dan menikah adalah salah satunya. Menikahlah karena Allah, menikahlah untuk menjemput ridho Allah, menikahlah karena sunatullah. Kalau ini menjadi landasan, pun ketika takdir mengatakan harus berpisah, dengan enteng kita bisa bilang, "sudah jalan-Nya begitu, cukuplah Allah bagiku..."
Thursday, June 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment